• Home
  • Mata News
    • Daerah
    • Nasional
    • Internasional
  • Opini
  • Lifestyle
    • Entertainment
    • Kesehatan
    • Kuliner
    • Pariwisata
    • Seni Budaya
    • Religi
  • Sport
  • Mata Sosok
  • Mata Kampus
  • Pojok Matanews
  • Galeri
  • Redaksi
Selasa, Januari 24, 2023
  • Login
No Result
View All Result
www.matanews.net
NEWSLETTER
  • Home
  • Mata News
    • Daerah
    • Nasional
    • Internasional
  • Opini
  • Lifestyle
    • Entertainment
    • Kesehatan
    • Kuliner
    • Pariwisata
    • Seni Budaya
    • Religi
  • Sport
  • Mata Sosok
  • Mata Kampus
  • Pojok Matanews
  • Galeri
  • Redaksi
  • Home
  • Mata News
    • Daerah
    • Nasional
    • Internasional
  • Opini
  • Lifestyle
    • Entertainment
    • Kesehatan
    • Kuliner
    • Pariwisata
    • Seni Budaya
    • Religi
  • Sport
  • Mata Sosok
  • Mata Kampus
  • Pojok Matanews
  • Galeri
  • Redaksi
No Result
View All Result
www.matanews.net
No Result
View All Result
Home Pojok Matanews

Janda Bolong dan Bisnis Monyet

by editor m1
September 30, 2020
in Pojok Matanews
1
Janda Bolong dan Bisnis Monyet

Bunga janbol|istimewa

415
SHARES
1.6k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

DALAM dua bulan terakhir, setiap pekan muncul berita di berbagai media online dan medsos yang memberitakan mengenai tanaman hias monstera atau lebih dikenal dengan Janda Bolong (Janbol) yang dibandrol dengan harga tinggi. Tidak tanggung-tanggung, satu pot dihargai lebih dari seratus juta rupiah, dan selembar daunnya bisa mencapai harga Rp 15 juta.

Minggu (27/9/2020), saya iseng ke taman kecil depan rumah, tempat dua pot tanaman Janbol digantung. Istri saya menanam Janbol itu sejak Maret lalu. Dia menanam Janbol bukan karena tergiur dengan harga selangit, tapi hanya ingin melengkapi koleksi tanamannya. Tidak lebih. Karena ketika itu harga Janbol masih sangat murah. “Saya beli Janbol berhelai daun tiga hanya sepuluh ribu,” cerita istri saya.

Saya coba menghitung lembar demi lembar daun Janbol di kedua pot itu. Totalnya ada 34 helai daun. Wow, luar biasa. Istri saya bisa menjadi OKB di RT kami di tengah kelesuhan ekonomi akibat pandemi corona. Bayangkan saja, 34 lembar dikali Rp 15 juta. Lebih dari setengah miliar bakal menghuni kantong baju istri saya.

Tapi, tunggu dulu. Saya sebenarnya sudah mengetahui strategi para pebisnis tanaman hias untuk mendongkrak harga jualannya. Selama belasan tahun terakhir, sudah beberapa kali heboh dengan model bisnis seperti ini di tengah masyarakat kita. Praktik bisnis seperti ini lazim disebut monkey bussinness, bisnis monyet.

Pada tahun 2007-2008 semisal, masyarakat di Tanah Air, terutama di perkotaan, dihebohkan dengan tanaman hias Gelombang Cinta yang mencapai harga ratusan juta, bahkan ada yang menyentuh angka miliaran rupiah. Pada tahun 2007 rekor harga tertinggi dicapai satu jenis jemani silangan baru di Kudus, Jawa Tengah. Gelombang Cinta berukuran 60-an senti itu dijual dengan harga Rp 1,25 miliar. Bahkan saat itu ada anthurium jemani supernova yang ditaksir seharga Rp 2 miliar.

Pada tahun 2008, istri saya sempat tergoda, mencari peruntungan. Ketika ada pameran Gelombang Cinta di mal dekat rumah kami, dia membeli satu pot Gelombang Cinta setinggi 2 senti dengan 3 helai daun. Untuk Gelombang Cinta sekecil itu ia merogoh kocek sebesar Rp 120 ribu.

Di rumah kami, Gelombang Cinta milik istri saya diperlakukan istimewa. Dikasih gizi pupuk supermewah. Setiap pagi disiram, lalu dijemur sebentar, dan ditaruh di tempat yang agak adem, agar tidak terbakar sinar matahari. Sore hari Gelombang Cinta itu disiram lagi, kemudian dibawa ke dalam rumah, karena khawatir diambil orang bila dibiarkan di teras.

Lalu, berapa harga tanaman Gelombang Cinta di tahun 2020 ini? Di berbagai toko online, harga Gelombang Cinta hanya berkisar Rp 25 ribu hingga Rp 400 ribu. Jangan kan miliaran, menyentuh angka satu juta saja tidak sampai. Kini Gelombang Cinta tidak lagi menjadi tanaman hias primadona dan disayang-sayang pemiliknya, tapi hanyalah sejenis tanaman hias biasa, yang tak lagi takut digondol maling. Bahkan ditaruh di pinggir jalan sekali pun, tidak lagi dilirik orang.

Ihwal penyebutan bisnis monyet ini bermula dari keisengan seorang saudagar kaya yang tinggal di sebuah desa. Saudagar itu gerah melihat banyak monyet yang mengganggu dan merusak tanaman warga desa. Suatu hari ia menyuruh para pembantunya membuat pengumuman kepada warga desa, yang berisi, saudagar itu akan membeli monyet seharga Rp 50 ribu per ekor.

Warga desa pun beramai-ramai berburu monyet. Alhasil, ribuan monyet ditangkap dan dimasukkan ke dalam kandang milik sang saudagar. Akibat diburu warga, monyet di desa itu pun mulai berkurang. Lalu, saudagar kaya itu menaikkan harga beli monyet sebesar Rp 100 ribu per ekor. Warga desa lebih giat lagi berburu monyet. Namun, karena sudah banyak yang ditangkap, monyet mulai susah ditemukan.

Saudagar itu menaikkan lagi harga beli sebesar Rp 150 ribu per ekor. Tapi monyet di desa itu sama sekali tidak tersisa lagi. Saudagar kaya itu mengatur siasat. Ia menyuruh para pembantunya untuk menyampaikan kepada warga desa bahwa bos mereka akan membeli monyet seharga Rp 500 ribu per ekor. Setelah itu ia membisiki para pembantunya agar menawarkan kepada warga ribuan monyet di kandang dengan harga Rp 250 ribu per ekor. Setelah menyampaikan perintah, saudagar itu berangkat ke kota dan menetap di sana.

Warga desa berduyun-duyun membeli monyet dari kandang milik saudagar. Ribuan monyet pun ludes diborong. Setelah menjual semua monyet, para pembantunya menyusul saudagar itu ke kota dan tinggal bersama di kota. Yang tersisa di desa, hanyalah warga yang kebingungan dan meratapi nasib, karena menanggung kerugian besar. Ribuan monyet yang sudah mereka beli dengan harga Rp 250 ribu dari saudagar kaya itu, sudah tidak berharga lagi, karena tidak ada yang membeli.

Akhirnya monyet-monyet itu kembali menghuni habitat hutannya, dan kehidupan warga desa kian terpuruk, sementara pundi-pundi duit sang saudagar kaya makin membengkak, buah strategi dan permainan liciknya. Sejumlah ulasan menyebutkan, bisnis monyet hanya akal-akalan para pebisnis tanaman hias untuk mendongkrak harga jual. Sehingga mereka memperoleh keuntungan besar.

Lain lagi analisis kawan saya. “Biasanya di balik bisnis monyet sedang ada kegiatan pencucian uang berskala besar. Uang yang dicuci akan disamarkan dalam bentuk pembelian barang, seperti tanaman hias,” kata dia.

Entah analisis mana yang betul. Itu tidak penting, dan juga tidak perlu diperdebatkan. Yang terpenting, kita perlu mewaspadai setiap kegiatan bisnis yang melampaui batas-batas kewajaran dan irasional. Agar terhindar dari jebakan dan permainan para pebisnis yang ingin menangguk keuntungan besar dari praktik bisnis monyet. (M-3)

Tags: bisnis monyetbungagelombang cintajanboljanda bolongjenis bungakoleksi bunga
editor m1

editor m1

Next Post
Leicester Permalukan Manchester City di Kandang

Leicester Permalukan Manchester City di Kandang

Comments 1

  1. Yohana says:
    2 tahun ago

    Keren

    Balas

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Facebook Twitter Youtube RSS

Matanews.net

www.matanews.net

Nifarro park, ITS tower Lantai 7 room 70, Jl raya pasar minggu km 18 pejaten, jakarta selatan.
"Kirim opini dan tulisan anda ke Redaksi Matanews.net melalui email Redaksi@Matanews.net".

Facebook

© 2020 matanews.net -design matanews.net.

No Result
View All Result
  • Home
  • Mata News
    • Daerah
    • Nasional
    • Internasional
  • Opini
  • Lifestyle
    • Entertainment
    • Kesehatan
    • Kuliner
    • Pariwisata
    • Seni Budaya
    • Religi
  • Sport
  • Mata Sosok
  • Mata Kampus
  • Pojok Matanews
  • Galeri
  • Redaksi

© 2020 matanews.net -design matanews.net.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In