MANTAN Perdana Menteri Uni Soviet Nikita Khrushchev pernah berujar, semua politisi sama. Mereka berjanji membangun jembatan, meskipun tak ada sungai. Bila Khrushchev hidup di abad 21, ungkapan ini (mungkin) tak pernah ada. Pasalnya, di banyak kota besar ditemukan jembatan (penyeberangan), meskipun di bawahnya tidak ada sungai.
Namun pernyataan Khrushchev masih relevan dengan kehidupan politik di zaman ini di negeri kita. Karena poin penting pernyataan Khrushchev, bukan pada ada atau tidak adanya sungai, tapi pada kebiasaan banyak politikus yang gemar mengumbar janji-janji manis pada setiap momen pilpres, pilkada atau pileg, meski janji-janji itu tak masuk akal dan mustahil diwujudkan.
Boleh jadi, jembatan Wae Musur salah satu di antara janji-janji manis itu. Jembatan Wae Musur sudah selesai dibangun, meski belum ada jalan raya di kedua ujung jembatannya.
Cerita soal jalan tanpa jembatan, banyak kita dengar dan jumpai di berbagai daerah di Tanah Air. Kendaraan bermotor dan warga harus menyeberangi sungai, terkadang berarus deras, karena belum dibangun jembatan penghubung di atasnya. Bertahun-tahun warga terpaksa menerima nasib dan rela menanggung derita.
Namun bila ada jembatan tanpa terhubung jalan, barangkali hanya ada di Wae Musur, Kecamatan Rana Mese, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur. Jembatan tanpa jalan? Memang terbilang aneh. Barangkali, ini satu-satunya keanehan yang pernah ada di dunia nyata.
Alkisah. Pada tahun 2017 lalu Pemda Manggarai Timur membangun jembatan Wae Musur, yang akan menghubungkan sejumlah desa terisolasi di wilayah Kecamatan Rana Mese. Pembangunan jembatan ini menghabiskan dana APBD Manggarai Timur sebesar tujuh miliar rupiah. Namun hingga menyentuh penghujung tahun 2020 jembatan ini belum bisa digunakan warga. Kenapa?
Dilansir dari Pos-Kupang.com, jembatan Wae Musur belum bisa digunakan karena warga pemilik lahan di akses menuju jembatan meminta ganti rugi. Pejabat Pemda hingga Pemdes sudah melakukan pendekatan kepada para pemilik lahan, namun hingga kini belum membuahkan hasil.
Kasus jembatan Wae Musur adalah bentuk arogansi kekuasaan, yang cenderung menyelepekan, bahkan meniadakan hak-hak orang kecil. Urusan dengan orang-orang kecil, apalagi yang hidup di kampung itu gampang, begitu banyak pejabat negeri ini kerap memperlakukan rakyatnya. Maka dalam kasus jembatan Wae Musur, Pemda Manggarai Timur begitu yakin warga pemilik lahan di sekitar jembatan mudah ditundukkan.
Sehingga Pemda pun tak ragu membangun jembatan tersebut, meski urusan pembebasan lahan akses menuju jembatan belum selesai dilakukan. Andaikan dari awal Pemda tidak mengedepankan pendekatan kekuasaan dan dengan rendah hati mendengarkan jeritan suara hati mereka, tentu saja tujuh miliar rupiah dana APBD yang dikumpulkan dari tetesan keringat rakyat Manggarai Timur tidak terbuang percuma terbawa arus sungai Wae Musur.
Dan, kini jembatan Wae Musur barangkali sudah ramai dilintasi kendaraan bermotor dan warga.
Dalam membangun sebuah jembatan ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan. Salah satunya, harus terhubung dengan jalan. Jembatan yang ideal mesti ada jalan di kedua ujungnya. Kalau ada jembatan yang tidak terhubung dengan jalan, itu namanya, jembatan utopia, yang hanya ada dan hidup di dunia mimpi. Sayangnya, malah itu nyata di Manggarai Timur. Sungguh sebuah ironi. (M-3)