BENCANA alam longsor dan banjir bandang menerjang Kabupaten Manggarai Barat, Kamis pagi, 7 Maret 2019. Wilayah Desa Tondong Belang, Kecamatan Mbeliling jadi pusaran tragedi kemanusiaan itu. Sebanyak 8 orang warga di desa ini meninggal dunia terendam material longsor. Waktu bersamaan, banjir bandang menerjang beberapa desa di Kecamatan Komodo. Para petani dan nelayan kehilangan harta benda yang tiada tara akibat bencana.
Kamis pagi sekira pukul 06.00 Wita, bapak Alo Randik meninggalkan rumah. Walau hujan deras, ia nekad meluncur ke sawah. Ia hendak memindahkan kerbau di sawah dekat kali Wae Damar. Saat itulah maut nyaris menjemputnya. Demi menyelamatkan kerbau, ia nekad menyeberang kali. Tatkala berada di tengah bentangan sungai, banjir datang menyapu. Beruntung, mantan bintang sepak bola itu bisa berenang.
Ia berjibaku melawan arus bah. Berupaya menggapai pohon kelapa yang tumbuh di pinggir kali. Ia kemudian memanjat pohon kelapa. Namun, pohon kelapa tumbang karena tergerus banjir. Ia kembali berjibaku di tengah pusaran banjir.
Dalam kondisi yang demikian kritis, mukjizat Tuhan datang menjelma. Dengan sisa energi yang dimiliki, ia menerobos gejolak banjir. Ia berenang ke arah pohon enau yang tumbuh tidak jauh dari pohon kelapa yang tumbang. Pohon enau itulah jadi dewa penyelamat baginya dari amukan banjir, Kamis kelabu itu.
“Pada awal banjir itu datang, saya naik di atas batu besar di tengah sungai. Tapi saya merasa tidak nyaman karena hujan semakin deras. Saya lalu berenang ke arah pohon kelapa. Saya panjat pohon kelapa menyelamatkan diri. Sambil peluk pohon kelapa, saya berkata dalam hati, “banjir … kau tidak punya kaki ikut saya,” sesumbar ayah enam anak itu menantang banjir.

Sesumbar yang ia ungkapkan dalam hati ternyata meleset. Pohon kelapa itupun tumbang. Ia pun ikut tumbang tercebur ke pusaran banjir.
“Untung saya tidak panik waktu itu. Saya berenang lagi sambil memohon mukjizat Tuhan. Saya berusaha mendapatkan pohon enau yang tumbuh dekat batu besar. Untungnya saya bisa dapatkan ijuk pohon enau. Saya pegang kuat ijuknya lalu panjat pohon enau itu. Waktu itu banjir semakin besar. Batu besar dan puing-puing kayu terbawa banjir menghantam pohon enau. Saat itulah saya berdoa dalam hati mohon pertolongan Tuhan. Hanya pohon enau itu saja harapan saya yang terakhir. Kalau dia (pohon enau) tumbang waktu itu, saya sudah mati,” kisahnya.
“Waktu saya panjat pohon kelapa, anak saya tiba di seberang sungai. Ia mencari saya. Saya dengar dia teriak panggil saya. Dia juga mungkin dengar saya teriak jawab dia. Mengetahui saya masih hidup, anak saya balik lagi ke rumah panggil semua orang di kampung untuk datang menolong saya,” ungkap Alo Randik mengenang peristiwa dua tahun silam itu.
Ia berkata, berada di atas pohon enau itu sekira dua jam lamanya. Ia sangat lapar akibat energinya terkuras berjibaku melawan ancaman maut. Warga se-kampung Mbore akhirnya tiba di lokasi. Mereka berusaha menolong bapak Alo.
“Mereka semua datang menolong saya. Mereka potong bambu tapi sia-sia karena disapu banjir. Dari atas dahan pohon enau, saya teriak suruh mereka ambil tali nilon di pondok dekat sawah. Mereka sorong tali pakai bambu ke saya. Saya ikat ujung tali di pinggang lalu turun dari dahan pohon enau. Berkat pohon enau dan tali itulah nyawa saya selamat dari amukan banjir
Tiba di rumah, saya siapkan seekor ayam jantan putih lalu undang seluruh warga kampung menggelar ritual adat. Bersyukur kepada Tuhan yang telah menolong saya,” tuturnya bapak Alo Randik. (Robert Perkasa) Bersambung….
Luar biasa e…Puji Tuhan. Menanti kelanjutan kisah ini