MBELILING, Matanews.net – Pohon enau tidak hanya menyelamatkan nyawanya dari bencana banjir. Lebih dari itu memberinya penghasilan tambahan. Ia seorang pengrajin gula merah dan sopi nira pohon enau. Selain itu, ia menanam kopi dan kakao. Ia sosok petani sukses di eranya. Pada musim kemarau ia memproduksi gula merah. Di musim hujan, ia menyuling sopi. Pekerjaan tersebut dijalankannya sekaligus dengan tugas pokoknya sebagai petani sawah dan kebun.
Menurut bapak Alo Randik, proses pembuatan gula merah menyita waktu dan membutuhkan ketekunan ekstra ketimbang menyuling sopi. Kendati demikian, ia menekuni keduanya karena memiliki peluang pasar. Pada saat tertentu, ia memproduksi gula merah memenuhi permintaan pasar.
“Proses menghasilkan gula merah lebih rumit daripada menyuling sopi. Mulai dari proses sadapan nira sampai memasak. Saya lakukan tiap hari dan tidak bisa ditinggalkan. Sedangkan proses penyulingan sopi lebih mudah,” ungkapnya.
Pengambilan nira dilakukannya setiap hari. Pergi pagi, pulang malam. Nira hasil sadapan sore dipanaskan di kuali besar agar tidak basi. Dini hari pukul 05.00 Wita, ia meninggalkan rumah menuju sari (pondok produksi gula merah), sekira dua kilometer. Tiba di Sari, ia mulai memasak nira hasil sadapan sore dan pagi hari.
“Setiap jam lima pagi, saya turun ke lokasi ini. Karena kalau terlambat akibatnya air nira jadi putih dan kalau dimasak hasilnya tidak bagus. Namanya gula tarek,” kata bapak Alo.
Sembari menunggu nira mengental, dia menyiapkan berbagai peralatan untuk mencetak gula merah. Peralatan itu di antaranya malang (tempat cetak gula merah yang terbuat dari kayu atau pelepah enau). Leke ndoa, terbuat dari tempurung kelapa untuk mencedok air nira setelah dipanaskan lalu dituangkan ke rudang.
Rudang terbuat dari bambu untuk menampung nira. Leke teke, terbuat dari tempurung untuk cedok gumpalan gula yang sudah matang, dari kuali ke malang. Sebelum digunakan, semua peralatan itu dicelupkan ke dalam air yang sudah disiapkan.
Jika cairan aren ini menggumpal pertanda siap dicetak. Nira yang kental menggumpal lantas dituangkan ke dalam malang cetakan dan didiamkan sampai gula membeku. Dalam kondisi setengah beku gula dikeluarkan dari cetakan lalu didinginkan beberapa saat hingga mengeras sempurna. Tahapan berikutnya, ia membungkus gula merah menggunakan daun enau yang telah dikeringkan.
Bapak Alo menjelaskan, dari sekali masak, ia memperoleh 10 batang gula merah setiap hari. Gula merah itu dijualnya ke pasar dengan harga Rp20.000 per batang atau Rp500.000 per ikat. Satu ikat berisi 25 batang gula merah.
Terkadang pula ia melayani pesanan dari para pelanggan di Kota Labuan Bajo, terutama pada saat hari raya Lebaran. “Kalau air nira stabil, sekali masak bisa menghasilkan 10 batang gula merah. Sekali masak 4 rudang nira,” jelasnya saat ditemui Matanews.net, Minggu (9/5).

Tanam Kopi-Kakao Panen Sarjana
Selain pengrajin gula merah dan sopi, ayah enam anak itu juga seorang petani kopi dan kakao yang sukses. Pada era 1980-an ia menanam kopi lokal dan kakao di atas lahan seluas 5 hektar. Kerja kerasnya bertahun-tahun itu membuahkan hasil. Tiga orang anaknya telah tamat Perguruan Tinggi dan anak sulung laki-laki tamat SMA.
“Tahun 1980-an saya tanam kopi dan coklat di atas lahan 5 hektar. Hasil panenan kopi dan cokelat 50 kg per minggu. Saya jual kopi dan coklat sama Toko Nugi Indah di Ruteng. Harga coklat tahun 1990 berkisar Rp 1800 -2000 per kilo. Ongkos sekolah anak-anak saya dari hasil kopi dan coklat ditambah dengan hasil jualan gula merah dan sopi,” kisah bapak Alo Randik.
Kini ia lanjut usia. Kebun kopi dan kakao yang pernah dipanennya tidak terawat lagi. Ia mengaku patah semangatnya karena tanaman kopi dan kakao diserang penyaki kanker buah dan kera. “Saya jadi lemah semangat ketika tanaman cokelat terserang penyakit kanker buah dan kera,” kenangnya.
Kini, ia menunaikan sisa usianya dengan menggarap sawah sambil memproduksi gula merah dan sopi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Keempat anaknya telah dewasa dan mandiri. Sedangkan anak sulungnya disabilitas sejak lahir.
Bulir-bulir padi di sawahnya kini tampak menguning. Siap panen. Menanti panen ia tiap hari beraktifitas di sawah dan sari kokor gola. Sebuah pekerjaan yang dicintainya, digelutinya sejak tamat Sekolah Dasar.
“Petani itu mulia. Apapun pekerjaan kita kalau dijalani dengan setia berproses, pasti membuahkan hasil,” pesan bapak Alosius Randik (66 tahun), pengrajin gula merah dan sopi di Kampung Mbore, Dusun Mbore, Desa Tonton Belang, Kecamatan Mbeliling, Kabupaten Manggarai Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur. (Robert Perkasa)