TORONG Luwuk atau Luwuk saja. Tempat ini selalu menjadi kiblat pelaut. Ata (orang) Sembawa (Sumbawa) menghabiskan waktu sekira empat bulan di sini, dari Desember hingga April. Ketika perahu mereka sudah penuh dengan ikan lenguru (julung-julung), mereka bergegas pergi. Biasanya April akhir atau Mei awal.
Perahu Kota Madina, sama seperti perahu lainnya, akan meninggalkan Lanos pada jam jelang subuh yang hening. Jarak Lanos dan kampung, di subuh hari seperti sepelempar batu dekatnya. Mungkin karena hening, riuh mereka pergi terdengar. Bahkan terang benderang terdengar kepakan layar yang belum purna terkembang. Pukulan angin Selatan yang kencang, membuat Kota Madina cum suibus (cs) bergerak cepat ke tengah laut. Pada siang, ketika matahari meninggi, angin Timur akan mendorong mereka ke tempat asalnya. BACA JUGA: Ata Sembawa Datang Muat Garam, Pulang Bawa Ikan
Lanos seperti sudah suratan tangan. Jika pelaut dari barat minggat, si Lanos akan didatangi tamu baru. Pelaut dari Timur. Dari ujung Torong Ninge pelaut itu muncul berderet. Bukan perahu, tapi sampan besar bercadik, layar berbentuk persegi panjang dipasang horizontal di tiang vertikal penuh tali temali. Saya masih ingat, tali-tali penguat tiang itu disebut tali tembera.
Bila kami melihat ciri-ciri layar seperti itu, kami pun memastikan itu ata Plu’e, sebutan untuk nelayan asal Palue atau Pulo. Palue, adalah sebuah pulau yang terletak di perairan sebelah utara Pulau Flores. Secara administratif, pulau ini masuk ke wilayah Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Luasnya hanya 41 km².
Menurut cerita yang saya dengar dari orang yang pernah tinggal di sana, pulau ini tanahnya kerontang. Tanaman seperti padi dan jagung tak bisa diandalkan di Pulau Palue ini. Tapi Tuhan itu Maha Bijak. Penghuni pulau ini dikaruniai kehebatan untuk mencari makan di laut. Di sini lahir pelaut tangguh, ulet dan kreatif. Mereka nelayan hebat, membuat sendiri perahu atau sampan cadik. Menangkap ikan dengan alat tangkap buatan sendiri.

Pana, Alat Tangkap Ikan
Untuk menangkap ikan, ata Plu’e menyelam ke dasar laut tanpa memakai tabung oksigen. Mereka memakai kacamata selam buatan sendiri. Aalat yang dibuat khusus untuk menangkap ikan, namanya pana. Dibuat seadanya, dari bahan kayu seukuran 2 hingga 3 meter, besi berdiameter sekira 6 mili dengan panjang sekira 1,5 hingga 1,8 meter. Bahan lainnya adalah karet, mungkin dari ban dalam mobil, dipotong dengan ukuran panjang sekira 30 cm, selebar dua jari orang dewasa. Kemudian, potongan bambu atau pipa ukuran berdiameter sekira 2 cm dan panjang sekira 10 cm. Keempat bahan ini -besi, kayu, pipa, dan karet- membentuk apa yang disebut pana. Pangkal pana diukir seperti senjata api (sepi) rakitan. Di ujungnya diikat pipa sekalian karet yang fungsinya untuk melontarkan ‘peluru’ alias anak panah besi ke tubuh ikan. Pana ini yang mereka tenteng saat menyelam.
Menangkap ikan ala Plu’e adalah paduan gerak tubuh, teknik pernapasan dan seni bela diri. Mereka menyelam dengan memiliki skil dasar itu. Mereka menggunakan tubuh yang terus bergerak untuk mengejar target. Bergerak sambil menenteng pana. Jika ketemu sasaran, mereka bergerak mendekati dan melepas tembakan.
Lama mereka selam di dalam dasar laut, yang saya dengar dari sesama warga Luwuk waktu kecil, mencapai 1/2 jam. Tapi saya sendiri tak percaya dengan cerita itu dengan dua alasan. Pertama, saya pernah menghitung sendiri lama saya menyelam, maksimal 60 detik. Kalau ata Plu’e bisa menyelam setengah jam, itu artinya mereka super duper jauh di atas saya, yaitu 1.800 detik. Itulah makanya saya tak percaya.
Alasan kedua, orang Luwuk ada juga yang pandai menggunakan bahasa hiperbolis. Suatu ketika -ini juga kisah kehebatan penyelam Plu’e versi orang Luwuk- sampan orang Plu’e dikepung polisi karena diduga menangkap ikan dengan menggunakan bom. Orang Plu’e tidak lari, tapi sembunyi di bawah laut. Polisi menunggu di atas dekat sampan mereka. Polisi menunggu berjam-jam di atas, orang Plu’e tak kunjung muncul ke permukaan. Karena sudah lapar, akhirnya polisi patroli pulang.
Terlepas dari gaya hiperbolis, orang Plu’e memang rerata penyelam tangguh. Itu karena mereka pintar atur napas. Ya, seni menghela napas. Saat di dasar laut, mereka juga kerap diserang ikan hiu yang mau merebut hasil tangkapan mereka. Dalam hal ini, mereka sudah terlatih untuk mengahadapi serangan mendadak si raja laut itu.
Singkat cerita, dengan memiliki skil itu ata Plu’e dapat memanen ikan sesuka mereka. Pada musim Timur, Luwuk jadi kiblat mereka. Sebab di sini habitatnya ikan. Berbagai jenis ikan laut dalam, ada di Lanos dan sekitarnya. Pangkal karang sambung menyambung di dasar perairan kedalaman 5 meter. Karang-karang itu membentuk lorong, liang dan lubang. Di lorong itu ikan menghuni. Di sinilah pelaut dari Timur yang biasa kami sapa ata Plu’e itu memanah ikan. Mereka tinggal berbulan-bulan di Luwuk.

Saya masih ingat nama-nama mereka. Ada juragan Simon, dengan sanak ponaknya bernama Cubi dan Pio. Saban pagi dan sore mereka memanah ikan. Hasil tangkapan kadang langsung ditukar dengan jagung. Warga yang sangat membutuhkan ikan dalam jumlah banyak, kadang sistem ijon. Ikannya diambil lebih dulu. Belakangan, kalau sudah musim panen padi atau jagung, baru dibayar. Dengan cara ini, Simon bersama sanak ponaknya pulang ke Palue membawa padi dan jagung.
Luwuk adalah Ibu
Sama seperti ata Sembawa, ata Plu’e juga mengangkat layar pulang di subuh hari yang hening, saat angin Selatan menghembus kencang. Riang hati mereka terang benderang terdengar. Kepakan layar setengah berkembang sahut-menyahut dengan syair lagu gembira ini. “Buat maronggeng-maronggeng mengisi waktu. Buat maronggeng-maronggeng mengisi waktu. Lepas dari tangan mama. Torong Luwuk takan terlupakan”. Sepotong syair riang. Rupanya ata Plu’e merasakan Luwuk sebagai mama atau ibu kedua mereka. Ya. Luwuk, benar tempat mereka merasakan nikmat susu dan madu. Mereka datang memanah ikan di lekak liuk palung karang laut Luwuk. Mereka pulang juga membawa hasil bumi padi dan jagung.
Kisah ata Plu’e memanen ikan dengan cara memanah adalah cerita dulu, saat saya masih kecil. Saat ini saya tak lagi mendengar atau melihat mereka memanah ikan. Namun, syair riang “Buat maronggeng…” masih mengiang di telinga. Syair pengingat bahawa Luwuk adalah Ibu yang tak akan pernah dilupakan. Luwuk adalah ibu yang subur. Ia tetap memberikan hasil, baik dari lautnya pun daratnya.
Potensi laut berupa ikan, rumput laut, siput, teripang dan lainnya tak pernah berkurang. Begitu juga potensi pertanian seperti jagung, padi dan sorgum lebih dari cukup untuk menghidupi warganya. (Donatus Nador)