• Home
  • Mata News
    • Daerah
    • Nasional
    • Internasional
  • Opini
  • Lifestyle
    • Entertainment
    • Kesehatan
    • Kuliner
    • Pariwisata
    • Seni Budaya
    • Religi
  • Sport
  • Mata Sosok
  • Mata Kampus
  • Pojok Matanews
  • Galeri
  • Redaksi
Selasa, Mei 17, 2022
  • Login
No Result
View All Result
www.matanews.net
NEWSLETTER
  • Home
  • Mata News
    • Daerah
    • Nasional
    • Internasional
  • Opini
  • Lifestyle
    • Entertainment
    • Kesehatan
    • Kuliner
    • Pariwisata
    • Seni Budaya
    • Religi
  • Sport
  • Mata Sosok
  • Mata Kampus
  • Pojok Matanews
  • Galeri
  • Redaksi
  • Home
  • Mata News
    • Daerah
    • Nasional
    • Internasional
  • Opini
  • Lifestyle
    • Entertainment
    • Kesehatan
    • Kuliner
    • Pariwisata
    • Seni Budaya
    • Religi
  • Sport
  • Mata Sosok
  • Mata Kampus
  • Pojok Matanews
  • Galeri
  • Redaksi
No Result
View All Result
www.matanews.net
No Result
View All Result
Home Opini

Nanga Banda, Entitas Sejarah Manggarai di Reo yang Terabaikan

Oleh Nurdin, SE *)

by Redaksi Matanews.net
September 2, 2021
in Opini
1
NANGA BANDA, Entitas Sejarah Manggarai di Reo yang Terabaikan

Penulis, Nurdin, SE Pinca PT BRI Cabang Maumere

200
SHARES
769
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

“SEJARAH bergerak, dan akan cenderung ke arah harapan atau cenderung ke arah tragedi.” – George W. Bush.

Sejak dijadikan arena pacuan kuda tahun 2018, nama Nanga Banda menjadi semakin akrab di telinga masyarakat Kabupaten Manggarai dan bahkan seantero NTT. Kepopulerannya diakui semakin terkenal, sejak kehadiran Kampung Wisata Nanga Banda pada tahun 2019.

Objek wisata pantai terhits, mengandalkan keindahan sunset diselimuti pesona pantai utara Flores yang tenang. Sayangnya hanya muncul dan viral sesaat. Semenjak hadirnya wabah pandemi covid19 di Indonesia awal tahun 2020, juga terkena dampaknya. Kini Kampung Wisata Nanga Banda seolah mati suri. Geliatnya tak terdengar lagi.

Namun di pertengahan tahun 2021 ini, nama Nanga Banda viral kembali dengan cerita baru. Hamparan lahan kosong yang luas, milik Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Manggarai yang telah dipoles menjadi arena pacuan kuda, tiba-tiba digugat kepemilikannya. Bahkan sejarah penyerahan tanah Nanga Banda kepada Pemkab Manggarai, yang diserahkan saat masa pemerintahan Raja Ngambut, pun tidak diakui. (Manggaraipost, 25/8/2021)

Dari media kita juga mengetahui, bahwa sosok penggugat itu adalah saudara Darwin Bahrun. Lelaki 45 tahun ini, mengaku sebagai ahli waris sah. Sehingga dia mengklaim bahwa lahan tersebut adalah milik keluarga keturunannya. Dia menggunggat berdasarkan sejarah keberadaan nenek moyangnya di Reo, yang masih berketurunan Gowa – Makassar. Secara tegas dia menyebut bahwa lahan tersebut adalah milik kakeknya, bernama Andi Supandri Daeng Malara.

Sontak saja peristiwa heboh ini menjadi perhatian publik. Seolah membangunkan kita dari keheningan dalam menjalankan PPKM level 4, di masa pandemic covid19 di tahun kedua ini.

Sejauh ini pencermatan kita hanya membaca lewat pemberitaan media massa, alasan saudara Darwin memasang pilar miliknya di lahan milik Pemkab Manggarai itu. Keraguan publik pun muncul, kemana keluarga keturunannya selama ini sehingga baru tersadar, kalau lahan kosong itu sesungguhnya warisan kakek mereka. Adakah bukti otentik yang melandasi keinginan untuk mengambil alih kembali lahan yang sudah menjadi aset pemerintah daerah itu?

Ataukah tindakan saudara Darwin ini sebagai cerminan akan kesadaran literasi sejarah. Tapi bukti sejarah yang mana yang bisa ditelusuri. Karena masyarakat Reo, setahu saya tidak memiliki dokumen sejarah
tertulis. Yang sering kita dengar hanya penuturan atau cerita lisan dari turun temurun.

Misalnya sejarah keberadaan “Rade Mangge Balu” atau lokasi kuburan keturunan kerajaan Gowa di masa lalu, yang meninggal di tanah Reo Manggarai. Lokasi itu hanya menjadi semacam “monumen tidak resmi” yang masih ada sampai saat ini. Lokasinya bersebelahan dengan tanah yang disengketakan. Namun sejarahnya pun tidak jelas karena hanya berupa penuturan dari generasi ke generasi dengan berbagai versi.

Beberapa buku sejarah yang ditulis oleh para sejarahwan terkenal, semacam Bo’ Sangaji Kai: Catatan Kerajaan Bima yang ditulis oleh Henri Chambert-Loir dan Siti Maryam R. Salahuddin atau buku Manggarai
Mencari Pencerahan Historigrafi, karangan Dami N. Toda, memang memuat kisah kejayaan Nanga Banda pada masanya.

Dari buku-buku itu pula, setidaknya bisa mencerahkan khasana pengetahuan sejarah generasi kita saat ini, bahwa nama Nanga Banda sungguh monumental. Bahkan seolah kita kembali disadarkan bahwa lokasi Nanga Banda adalah menjadi salah satu entitas sejarah Manggarai di Reo, yang terabaikan atau memang sengaja diabaikan oleh generasinya.

Pada akhirnya kita juga paham bahwa Nanga Banda memiliki posisi strategis dan penting bagi lahirnya “kebaikan” dan “keburukan” yang diwariskan dalam perkembangan zaman berikutnya. Kita pun mulai
tercerahkan tentang sejarah kehadiran Kerajaan Bima dan Gowa di Manggarai yang berbasis di Reo dan Pota khususnya, dengan segala konsekuensi logis yang diemban oleh generasi- generasi keturunan
berikutnya.

Peristiwa Nanga Banda saat ini, semoga dapat membangkitkan kembali kesadaran individu dan kolektif kita. Meskipun kita juga menyaksikan berbagai pandangan dan komentar, baik yang pro maupun yang kontra, hadir di ruang publik, Bahkan tidak sedikit komentar yang bernada skeptis dan sinis, atas aksi yang dilakukan oleh saudara Herdin Bahrun tersebut. Semua tanggapan itu berkelindan di tengah masyarakat. Dari obrolan warung kopi sampai di linimasa, seperti media online dan media
sosial semacam Facebook.

Komentar dan argumentasi saling bersahutan, dengan sudut pandangnya masing-masing. Perspektif sejarah seringkali dikait-kaitkan, tentu dengan dasar referensi masing-masing. Fenomena ini sangat menarik, sebagai bukti kepedulian generasi kita, pada lintasan sejarah yang melingkupinya.

Hal yang paling penting saat ini adalah pemerintah Kabupaten Manggarai telah merespon dengan cepat dan positif atas “gugatan” ini. Tim yang ditugaskan khusus oleh Pemkab Manggarai, turun langsung ke TKP untuk melakukan investigasi dan juga koordinasi. Tim tersebut telah melakukan tugas mereka. Kita hanya menunggu klarifikasi dan penjelasannya nanti.

Selanjutnya, tentu kemunculan kasus Nanga Banda ini akan tetap menjadi perhatian dan perbincangan di ruang publik. Saran saya, kita ikuti saja alur penyelesaiannya nanti, tentu berdasarkan fakta dan peraturan
hukum positif yang berlaku.

Keterlibatan kita dalam berbagai diskursus juga sebaiknya mengambil jarak yang netral. Ikut memberikan komentar sebagai wujud dalam dinamika diskusi di media sosial, tentu itu bagus. Namun sebaiknya
tanpa mengedepankan sikap pro maupun kontra. Apalagi saling menafikan satu sama lain.

Karena realitas sejarah yang tidak bisa kita pungkiri, telah terjadi infiltrasi dan akulturasi budaya Bima dan Gowa dalam kebudayaan masyarakat Reo-Pota Manggarai. Hal ini juga menjadi bagian dari kekayaan budaya masyarakat Manggarai yang kita banggakan. Semua keberagaman budaya itu, buah dari sejarah masa lampau kita, yang telah melebur dalam nadi kehidupan masyarakat Reo-Pota yang tentu bangga
sebagai orang Manggarai. Kita harus saling mendukung satu sama lain menuju masyarakat Manggarai yang damai dan sejahtera saat ini.

Saya sependapat dengan saudara Syarief Aryfaid, Direktur LSN Yogyakarta, bahwa kita perlu berhati- hati membawa konflik agraria dalam perspektif sejarah, karena akan menimbulkan konflik baru yang lebih laten dan masif. Maka ada baiknya persoalan agraria yang memiliki perspektif sejarah, seperti kasus Nanga Banda ini, harus melalui suatu kajian baik dari perspektif sosiologisnya, terutama perspektif yuridis, agar tidak menjadi semacam “dongeng tak berliterasi”

Mari kita maknai peristiwa Nanga Banda ini sebagai hal yang biasa dalam suatu dinamika sosial. Pertumbuhan dan perkembangan suatu wilayah, tentu melahirkan kesadaran akan nilai etis dan ekonomis. Tergambar pula prospek dan ekspektasi masyarakat atas wilayah Nanga Banda belakangan ini.

Sejalan dengan hal itu, tentu akan berdampak juga pada munculnya relasi transisi sosial akibat dari kemajuan dan perkembangan suatu wilayah dan juga peradaban manusianya.

“Sejarah harus mencatat bahwa tragedi terbesar dari periode transisi sosial ini bukanlah teriakan keras orang-orang jahat, tetapi keheningan yang mengerikan dari orang-orang baik.” – Martin Luther King, Jr.

Kata-kata bijak di atas, sangat menarik menjadi bahan renungan kita bersama. Semoga.***

*) Pinca PT BRI Cabang Maumere

Tags: Entitas Sejarah ManggaraiKecamatan Reo yang TerabaikanNanga BandaNurdin SEPinca PT BRI Cabang Maumere
Redaksi Matanews.net

Redaksi Matanews.net

Next Post
Mai Sai Kedai Keuskupan Maumere Siapkan Menu Lokal Spesial di Masa Pandemi Covid-19

Mai Sai Kedai Keuskupan Maumere Siapkan Menu Lokal Spesial di Masa Pandemi Covid-19

Comments 1

  1. Mangge Balu says:
    8 bulan ago

    Terima kasih cerpen nya pak.!!

    Balas

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Facebook Twitter Youtube RSS

Matanews.net

www.matanews.net

Nifarro park, ITS tower Lantai 7 room 70, Jl raya pasar minggu km 18 pejaten, jakarta selatan.
"Kirim opini dan tulisan anda ke Redaksi Matanews.net melalui email Redaksi@Matanews.net".

Facebook

© 2020 matanews.net -design matanews.net.

No Result
View All Result
  • Home
  • Mata News
    • Daerah
    • Nasional
    • Internasional
  • Opini
  • Lifestyle
    • Entertainment
    • Kesehatan
    • Kuliner
    • Pariwisata
    • Seni Budaya
    • Religi
  • Sport
  • Mata Sosok
  • Mata Kampus
  • Pojok Matanews
  • Galeri
  • Redaksi

© 2020 matanews.net -design matanews.net.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In